Memanfaatkan momentum #omteloletom, saya manfaatkan untuk buat cerpen. Alhamdulillah, respon positif bahkan diterbitkan secara bersambung oleh koran lokal, Samarinda Pos. Cerpen ini juga dimuat oleh situs yang menyebar ispiratif di http://www.ayolebihbaik.com/om-telolet-om/
Jarang-jarang cerpen saya dimuat pakai foto asli begini, hehe |
Bus itu berhenti. Aku naik buru-buru. Dan sama sekali tidak ada penumpang disini. Awalnya sih harap-harap cemas. Tapi melihat si supir berwajah bersahabat, aku memilih untuk tetap bertahan. Lagian, ngurus bisnis properti hari ini sungguh melelahkan.
“Om, ke blok M ya”
Si supir tersenyum. Mengangguk.
Om telolet om…
Itu suara dari kelompok misterius, dua menit kemudian. Wajahnya menyeramkan. Pakaiannya sulit ditafsirkan. Ada senjata tajam digantung di ikat pinggangnya. Ada tujuh orang.
Bus berhenti tepat di depan mereka. Kelompok misterius itu tertatih-tatih menaiki bus. Melirikku dengan tatapan yang tajam.
Aku memilih tidur. Mengabaikan kelompok itu yang tampak berteriak-teriak nggak jelas. Mungkin itu nyanyi, tapi sungguh, itu sangat mengganggu.
Celaka! Entah bagaiamana bisa. Entah bagaiamana mungkin. Lihatlah. Sekarang aku terdampar di pantai. Macam benda mati yang dihanyutkan. Sejauh mata memandang.
Apakah aku terdampar karena om telolet, atau kelompok misterius itu, atau jangan-jangan mereka bersekongkol karena sebelumnya ditelpon oleh sang mantan untuk balas dendam padaku?
Om telolet om…
Bus berhenti mendadak. Aku terbangun. Suara itu terdengar lembut tapi bertenaga. Yang berteriak segera menaiki bus. Mendekati kursi kosong tempat dudukku.
Kelompok misterius itu terus berteriak-teriak. Sang supir siap-siap tancap gas. Aku kikuk. Sungguh. Perempuan berkerudung ungu itu membuatku diam seribu bahasa.
Perempuan berkerudung ungu itu menatapku lamat-lamat. Tersenyum.
“Boleh duduk disini?”
Aku menangguk. Ikut tersenyum tapi getir. Sementara jantungku rasanya mau copot.
Sepersekian detik, ia mengeluarkan buku dari tasnya. Aku lirik sekilas. Judul buku itu tampak jelas bertuliskan: SAKINAH BERSAMAMU.
“Om, ke blok M ya,” teriak perempuan berkerudung ungu itu kepada supir.
Ya Tuhan. Aku sungguh gemetar. Apakah, apakah ini jawaban atas doaku?
Tiga detik berlalu, bus melaju dengan kecepatan standar. Sementara kelompok misterius itu terus berteriak-teriak. Sementara perempuan berkerudung ungu mulai membaca. Sementara aku memilih menatap luar jendela bus. Dalam keadaan seperti ini, aku tidak bisa tidur.
Blok M di depan mata. Seorang pemuda melambaikan tangan. Perempuan berkerudung ungu ikut melambaikan tangan. Wajahnya sumringah. Aku kaget.
Kami turun bersama. Perempuan itu segera berlari-lari kecil ke pemuda yang melambaikan tangan. Aku mengehela nafas.
“Eh bayar dulu,” sang supir mengingatkan.
“Biar aku bayar ya, sayang,” itu suara pemuda tadi. Segera melangkah ke arah supir. Aku menyusul dibelakangnya, ikut membayar.
“Mas, boleh ngobrol sebentar?” Aku bertanya kepada pemuda itu.
“Boleh, kita ngobrol di rumah aja ya gimana? Kebetulan kontrakan kami dekat sini.” Aku mengangguk.
“Ma, buatkan minum ya,” pemuda itu menyuruh istrinya. Kami sekarang ada di ruang tamu.
“Aku melihat istri bapak tadi membaca buku Sakinah Bersamamu, di bus. Itu buku bagus sekali. Aku pernah membacanya. Kebetulan, waktu aku menikah dulu, seorang teman memberi hadiah buku itu. Apakah mas adalah pengantin baru?”
“Iya mas, hehe. Baru dua minggu.” Wajah pemuda itu sedikit tersipu.
“Sudah kuduga, hehe. Perkenalkan. Aku Ebid. Pengusaha properti. Pemilik perumahan syariah. Aku menawarkan rumah murah dengan sistem syariah kepada mas Jika mas berminat, nanti bisa hubungi aku. Rumah aku nggak jauh dari sini.”
Istri pemuda itu kembali dari dapur. Memecah keheningan.
“Ma, duduk sini,” pemuda itu menyambut minuman yang dibawah istrinya.
“Nah ma, mas Ebid ini menawarkan rumah. Kita kan lagi nyari nih. Kebetulan, mas Ebid ini pengusaha rumah murah berbasis syariah” Pemuda itu tampak sumringah menjelaskan.
“Oh ya?” Sang istri penasaran.
“Nah mas Ebid, harganya berapaan?” Pemuda itu mengalihkan pandangannya padaku, “Di minum mas, tehnya”.
Aku meminum tehnya. Wah enak sekali. Teh dari mana ini?
“Itu teh biasa mas. Tapi kalau masalah meracik minuman, istri memang jago” pemuda itu tersenyum. Sementara istrinya tersipu. Aku ikut senyum.
“Insya Allah murah, mas. Nah ini kartu namaku. Kalian bisa jalan-jalan ke rumah. Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang.
Beberapa menit kemudian, aku izin pamit. Bilang, kalau istri sedang menunggu di rumah.
Ya Allah, apakah ini jawaban atas doaku? Semoga. Semoga ya Allah. Semoga salah satu rumah yang sengaja tidak aku promosikan dihuni oleh orang terbaik.
Oh ya, kau tahu mengapa perempuan berkerudung ungu itu memilih duduk di dekatku tadi? Karena dia takut diganggu sama kelompok misterius itu. Aku juga baru tahu, waktu diceritakan di rumahnya tadi.
Ebid Salam
Samarinda, 21 Desember 2016