Aku dan Rokok


Sebut saja namanya Owe. Lelaki berusia duapuluh lima tahun yang kini bekerja di salah satu perbankan di Samarinda.

Bagi Owe, merokok adalah segalanya. Setiap hari, rata-rata ia menghabiskan dua bungkus rokok. Anehnya, rekan-rekan kerjanya tidak tahu kalau Owe adalah perokok aktif. Ah, ia pandai sekali menyembunyikan kebiasaannya itu.

Suatu ketika, Owe lagi asyik jogging di GOR Sempaja Samarinda di sore hari. Setelah mengelilingi lapangan tiga kali, ia duduk di trotoar jalan. Sambil menghisap rokok kesayangannya.

Dua menit berlalu, ia didatangin anak kecil, yang kira-kira umurnya delapan tahun. Anak kecil itu memegang sebatang rokok. Ditelinga kirinya juga diselipkan satu rokok. Dengan santainya ia mengatakan, “Om, pinjam korek dong.”

Owe menatap anak kecil itu penasaran. Sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tepatnya, salah tingkah. Bagaimana mungkin sekecil ini sudah pandai merokok? Kurang ajar sekali itu orang tuanya, gumamnya dalam hati.

“Dik, merokok itu tidak baik untuk kesehatan. Kau bisa sakit-sakitan. Lebih baik uangnya digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat lho seperti beli beli buku daripada merokok yang jelas-jelas membahayakan.” Owe tersenyum, entah dia berkata setengah sadar atau tidak. Lihatlah, ditangan kanannya masih memegang rokok. Hanya soal waktu, rokok itu kembali dihisap.

“Kakak sudah menikah?” Anak kecil itu tersenyum, meniru senyum lawan bicaranya.

“Eh?” Owe menatap anak kecil itu tidak mengerti. Lalu refleks menggeleng.

“Nah kalau kakak tahu merokok itu nggak baik, terus kenapa kakak merokok? Lebih baik uangnya dibuat nabung untuk nikah lho kak. Atau buat sedekah, atau apalah asal bermanfaat.” Anak itu menitip satu lembaran kertas, balik kanan, lalu berlari-lari kecil entah kemana tujuannya.

Owe menatap punggung anak itu dengan takzim. Yang semakin jauh, semakin membuat hatinya terkikis. Kata-kata anak itu betul-betul membuatnya bak disambar petir. Bahasa gaulnya bikin baper.

Owe refleks menjatuhkan rokok yang masih menyala. Lalu menginjak-injak itu rokok. Dan mengambilnya kembali untuk kemudian dibuang ditempat sampah terdekat.

Kertas yang baru saja ia terima dari anak kecil itu dibuka, tigapuluh detik kemudian. Dalam kertas tersebut, ada kalimat menarik yang membuat harinya semakin terkikis, sejauh mata memandang.
“Merokok itu tidak baik untuk kesehatan. Kau bisa sakit-sakitan. Lebih baik uangnya digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat daripada merokok yang jelas-jelas membahayakan”
Itu isi pesan yang ada dikertas dengan tulisan khas anak kecil. Hampir sama dengan apa yang diucapkan Owe barusan. Apakah itu sebuah kebetulan? Entahlah.

Owe memilih pulang ke rumah. Tidak mood lagi melanjutkan olahraganya.

***

Usai mandi sore, Owe iseng menyalakan teve. Jarang sekali ia melakukannya. Kalau disuruh memilih, mau nonton teve atau main catur, ia pasti memilih opsi kedua. Bagi Owe, nonton itu kurang baik apalagi penuh sinetron yang nggak bagus.

Baru pertama kali itu teve dinyalakan, seorang pembawa berita membahas kebijakan presiden tentang usulan kenaikan harga rokok menjadi lima puluh ribu. Maka, terbayanglah kata-kata anak kecil itu. Terbayang pula betapa sia-sianya ia menghabiskan uangnya hanya karena rokok. Juga terbayang betapa menyesalnya ia mengenal rokok.

Dulu saat ia masih duduk dibangku sekolah, tepatnya kelas dua menengah pertama, ia salah satu siswa yang tidak suka asap rokok. Apalagi menyentuhnya. Tapi karena rasa penasarannya yang amat tinggi, ia akhirnya mencoba itu barang. Dan akhirnya ia ketagihan.

Owe mematikan teve. Kembali ke kamar, dan mengambil sebuah kertas dan pena. Ia kemudian menghitung pengeluarannya lima tahun terakhir. Dalam satu hari, dua bungkus rokok dihabiskannya. Satu rokok harganya Rp 15.000. Artinya, dalam satu bulan dihabiskan Rp 900.000. Lima tahun berarti Owe sudah menghabiskan Rp 54.750.000 hanya untuk merokok. Maka terbayanglah kembali kata-kata anak itu. Tentang kesehatan. Tentang pernikahan, yang selalu membuatnya sering jadi bahan olok-olokan.

Tapi ada satu hal yang membuat Owe berbeda. Ia tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Tidak pernah menyentuh minuman keras. Apalagi pacaran. Meski banyak orang yang berdalih boleh saja pacaran asal ala religius, Bagi Owe, itu hanya omong kosong dan menambah pundi-pundi maksiat.

Saat itulah. Saat ia tengah membayangkan kata-kata anak itu, Owe berjanji akan meninggalkan kebiasaannya itu. Kebiasaan merokok yang justru membuatnya sering batuk keras yang setidaknya terjadi dua kali dalam satu pekan.

Pertama-tama, Owe melakukan puasa. Meniru puasa nabi Daud. Satu hari puasa, satu hari stop, esoknya kembali lagi berpuasa.
Saat malam hari, dan diwaktu tidak berpuasa, ia melakukan apa saja agar tidak teringat kebiasaannya itu. Seperti membaca novel. Ikut kursus musik. Bergabung dengan lembaga sosial. Hingga ikut serta dengan komunitas mengaji.

Empat puluh hari melesat cepat. Owe sempurna melupakan kebiasaannya itu. Tidak ada lagi rokok dalam pikirannya. Jangankan menyentuh itu barang, terkena asap rokok sedikit saja buru-buru menghindar.

Dalam komunitas mengaji yang ia ikuti, Owe semakin tentram. Tidak hanya itu, saat mengaji yang dilakukan tiap pekan tersebut, ia juga disuruh menghafal Qur’an dengan target yang disepakati kelompok mengajinya.

Maka, setahun berlalu lagi, Owe sudah menghafal tiga juz. Hingga suatu ketika, ketua dari kelompok mengaji tersebut memberinya sebuah biodata perempuan. Owe mengerti maksudnya. Itu adalah tanda agar ia segera menikah. Ia pernah mendapat materi ini dalam pengajian pekanan yang kesekian.
Saat menerima itu bioadata, Owe betul-betul gemetar. Seumur-umur, tidak tahu ada system pernikahan seperti ini. Apalagi kini ia merasakannya langsung. Amboy…

Usai melakukan shalat istikharah selama empat puluh satu hari, dengan mantap ia mengatakan “Insya Allah siap!” kepada ketua kelompok mengajinya. Owe kemudian membuat bioadata serupa untuk kemudian diberikan kepada calon istrinya. Hanya selang dua hari, perempuan itu sepakat untuk menikah. Maka, satu minggu berlalu, Owe dan calon istrinya itu dipertemukan. Esok lusa, Owe diajak untuk melamar.

Melamar? Ya Allah, lihatlah. Owe betul-betul bahagia. Dulu sempat pusing bagaimana mau menikah sedangkan tabungan saja sedikit. Tapi sejak ia meninggalkan kebiasaannya merokok, kini Owe tidak risau lagi dengan biaya nikah. Ia meminta kepada kantornya agar setengah dari gajinya dipotong dan dikirim otomatis ke rekening barunya.

Satu hari sebelum melamar, Owe belajar cara melamar. Juga belajar bagaimana agar tidak gugup saat pernikahannya berlangsung kepada ketua kelompok mengajinya. Namun, saat ia pulang ke rumah, atau kira-kira pukul Sembilan malam, ia mengalami kecelakaan. Owe menabrak truk. Sehingga membuatnya terplanting jauh. Bahkan motornya rusak parah.
Apakah Owe baik-baik saja? Ya, ia baik-baik saja. Hanya luka sedikit dibagian lengangnya. Owe sangat paham tentang keamanan dalam berkendara. tigapuluh menit kemudian, Ia dan pengemudi truk dibawah ke kantor polisi terdekat.

Saat itulah. Saat Owe bercerita tentang kronologi kejadiannya. Saat pengemudi truk hanya bisa terdiam karena mengaku salah sebab salah ambil jalan. Saat itulah Owe batuk-batuk sampai mengeluarkan darah. Tiga detik berlalu, ia terjatuh dan tidak sadarkan diri.

Ya Allah, apa yang terjadi? Bukankah Owe hanya luka kecil? Ia kemudian dilarikan ke rumah sakit terdekat.

“Bagaimana kondisinya?,” Pengemudi truk yang betul-betul menyesali perbuatannya itu bertanya kepada dokter yang memeriksa Owe selama satu jam.

“Bapak keluarganya?”

“Ia dok,” Pengemudi truk itu refleks bengakui Owe keluarganya. Hanya itu cara terbaik yang ia bisa lakukan untuk mengetahui detail penyakit pemuda itu.

“Baik pak, ikut saya.” Dokter itu mengajak pengemudi truk untuk berbincang empat mata. Yang diajak bicara tanpa disuruh dua kali, segera mengikuti kata dokter.

“Saya punya dua kabar, pak. Pertama, pasien barusan hanya luka ringan. Sangat jarang orang tertolong dengan kecelakaan yang parah seperti itu.” Sang dokter berusaha serileks mungkin. Pengemudi truk menunggu penjelasan berikutnya.

“Kedua, kami justru lebih kaget ketika memeriksa pasien itu, pak. Kami menemukan ada penyakit kanker laring. Kanker yang menyerang tenggorokan sampai jagunnya hilang. Sehingga ia tidak bisa lagi makan pakai mulut. Tidak bisa bicara. Juga tidak bisa mencium aroma” Sang dokter menunduk. Penuh rasa prihatin.

Ya Robbi…

Pengemudi truk itu ikut tertunduk. Air matanya keluar. Semakin lama, semakin banyak yang menetes. Ia kemudian pamit keluar, bilang terima kasih atas penjelasannya. Lalu menuju kamar tempat Owe diperiksa.

Pengemudi truk itu membuka tas selempang Owe. Guna mencari identitas. Maka dikeluarkanlah semua isinya. Ada buku catatan. Jam tangan. Qur’an. Pena. Dompet. Smartphone. Dan buku risalah pernikahan, hadiah dari ketua kelompok mengajinya. Diambillah smartphone Owe. Beruntung, tidak dikasih password atau pola untuk menguncinya. Sehingga memudahkan pengemudi truk itu mencari tahu siapa keluarganya.

Saat membuka smartphone Owe, disana ada pop-up sms dari guru mengajinya. Dalam pesan tertulis:

“Assalamualaikum wr.. wb.. Owe, sudah sampai rumah? Entah kenapa saya kok merasa tidak enak ya. Semoga Allah melindungimu, Nak”

Satu menit berlalu, pengemudi truk itu menelpon ketua kelompok mengajinya, bilang bahwa Owe sedang dirawat di rumah sakit umum. Setelah itu, ia menghubungi istri dan anaknya agar ikut bergegas ke rumah sakit umum.

Pengemudi truk itu tidak menduga, keteledorannya dalam mengemudi membuat Owe harus dibawah rumah sakit. Meski penyakit yang diderita Owe justru disebabkan karena kebiasaannya merokok selama sebelas tahun. Apakah pengemudi truk itu mengantuk saat mengemudi? Tidak. Justru ia sangat sadar. Ia buru-buru pulang karena tidak sabar memberikan sepeda untuk anaknya yang sedang ulang tahun.

Lima belas menit kemudian, ketua kelompok mengaji Owe datang menjenguk. Disusul keluarga sang pengemudi truk. 
Keesokan harinya, Owe sadarkan diri. Kondisinya parah. Lehernya diperban. Ia menatap tamunya lamat-lamat. Ada ayah dan ibunya. Ada adik perempuan kembarnya. Ada ketua dan kelompok mengajinya. Juga pengemudi truk bersama istri dan anaknya.

Ya Allah, Owe mau bicara. Ia sama sekali tidak bersedih. Ya Allah, ia ingin tersenyum menyambut tamunya. Tidak bisa, ya Allah. Menggerakkan mulut sedikitpun tidak bisa.

Lihatlah, tidak ada kesedihan diwajah Owe. Tidak ada. Ia ingin mengucapkan terima kasih ya Allah. Tamunya sungguh berbeda. Pertama kepada keluarganya yang sangat menyayanginya. Kedua kepada kelompok mengajinya yang sudah banyak mengubah haluan hidupnya. Juga kepada anak kecil diantara tamunya. Anak kecil itulah yang ulang tahun kemarin. Anak dari pengemudi truk yang menyadarkannya betapa buruknya merokok.

Owe beralih menatap adiknya. Lalu menggerakkan tangannya. Menirukan gaya seseorang yang sedang menulis. Si kembar mengangguk. Paham maksudnya. Owe butuh pena dan kertas.

Owe kemudian menulis, “Apa yang terjadi?”. Dokter yang tiba satu menit yang lalu menjelaskan dengan hati-hati.

Ya Allah. Owe sama sekali tidak bersedih. Ia hanya ingin tersenyum, ya Allah. Sekali saja.

Tiga hari berikutnya, Owe akhirnya bisa tersenyum. Ya Allah, lihatlah. Owe terlihat begitu bahagia. Ia juga sudah pandai menggunakan bahasa isyarat. Bisa corat coret buku catatan. Juga sudah bisa duduk.

Satu bulan berlalu lagi.

Saat tamunya asyik mengobrol satu sama lain, Owe diam-diam selfie dan langsung mengunggah fotonya di facebook. Dalam description fotonya, ia menulis :
“Hai, aku bosan di rumah sakit. Tapi aku berusaha tersenyum. Dan memperbanyak tidur. Biar hari ini cepat berlalu. Aku kangen makan lewat mulut. Jaga kesehatan ya semua. Semoga kalian dalam lindungan Allah”
Sebenarnya Owe juga diam-diam berusaha menambah hafalan Qur’annya. Meski tidak bisa berbicara. Bagi Owe, ada rasa senang tersendiri saat ia menambah hafalannya. Juga saat murojaah tanpa suara.

Namun, foto yang baru saja diunggahnya itu ternyata kiriman terakhir. Owe meninggal, lima menit kemudian.

Ya Allah, mengapa secepat itu Engkau mengambilnya. Ya Robbi, bukankah dia sudah bisa tersenyum, dan bahkan sudah mulai bercanda? Ya Allah, bukankah Owe akan segera menikah?

Inilah takdir Allah. Takdir yang pasti semua orang akan mengalaminya. Tidak bisa dibantah. Maka, setelah kepergian Owe, ramai media meliputnya. Baik dari media lokal maupun nasional. Kisahnya membuat banyak orang terinspirasi. Bahkan ratusan orang mengaku berhenti merokok karena kisahnya.

Dua bulan setelah kepergiannya, nama Owe kembali menjadi buah bibir. Owe memang telah pergi, tapi ia meninggalkan sesuatu yang sangat berharga. Selama ia dirawat di rumah sakit, ia menulis kisah hidupnya di buku catatannya. Yang kemudian, ketua kelompok mengajinya mengusulkan untuk dibukukan. 
Owe memang telah pergi, tapi lewat bukunya berjudul “Aku dan Rokok”, ia tetap hidup. Tetap akan dikenang sepanjang masa.

* Ebid Salam