Jukir #MyCupOfStory


Kuli bangunan. Tukang cat rumah. Buruh kapal. Sol sepatu keliling. Banyak lagi. Semua aku lakukan demi kuliah. Tidak peduli apa komentar orang lain. Asal itu halal, why not?

Terakhir, aku bekerja sebagai juru parkir di warung kopi. Koh Acan, pemilik warkop sangat baik. Selalu bertanya tentang kuliah, hingga kesehatanku. Setiap hari. Juga selalu membawa makan dengan menu beragam. Tidak lupa dengan kopi spesial di pagi hari. Tubuh Koh Acan pendek dan gempal. Sekilas, dia mirip penjaga toko kelontong saat memakai kaos tanpa kera dan celana pendek.

Tapi ada sesuatu yang spesial dari Koh Acan. Berikan dia biji kopi apa saja, maka di tangannya, bisa membuat kalian sumringah. Entah bagaimana dia melakukannya, kopinya sungguh nikmat.

Warkop milik Koh Acan cukup besar. Parkir juga luas, tapi karena kendaraan tidak peduli dengan kerapian, Koh Acan memutuskan mencari jukir. Saat itulah, aku mendaftar dan langsung diterima. Saat itu pula aku merasakan kopi buatan Koh Acan pertama kali. Besoknya langsung boleh bekerja. Tidak muluk-muluk.

Setelah wawancara, aku duduk di depan warkop. Menghitung. Mengukur. Mencari ide. Ah ya...

"Koh, bagaimana kalau parkiran di depan warkop, kita jadikan parkir resmi?" Aku kembali menemui Koh Acan, setelah menemukan ide melintas. Koh Acan menyeringai, tidak mengerti.
"Eh maksudku, parkiran warkop ini kita jadikan parkiran profesional macam di mal. Jadi, kita sambil membantu pemerintah lewat Pendapatan Asli Daerah (PAD)"

Koh Acan mangguk-mangguk, entah mengerti atau tidak.

"Tapi, bagaimana mengurusnya, Vin?" Koh Acan penasaran. Menghela nafas pelan.
"Gampang, Koh. Biar Alvin yang urus!" Aku buru-buru pamit, berseru, terima kasih.
Tidak sulit mengurus parkiran profesional. Kebetulan, Ivan, teman yang kerja di parkiran salah satu mal, dengan senang hati membantu.

Esoknya aku belum bisa bekerja. Masih sibuk mengurus surat-surat, tiket, dan apa saja. Termasuk persiapanku untuk bekerja. Koh Acan hanya tersenyum lalu menyemangati, saat melihatku bolak balik di warkop. Hanya butuh waktu dua hari, semua beres.

***

Pagi-pagi sekali, aku sudah standby di depan warkop Koh Acan. Setengah jam kemudian, Koh Acan membuka warkop. Disusul karyawan-karyawannya.

"Selamat pagi, Vin. Hayya, bukan main, tampilan kau macam presiden saja." Koh Acan terkekeh, tidak menduga kostum pertama yang aku pakai. Kameja putih. Celana kain. Sepatu pantopel. Model rambut tersisir rapi. Aku ikut terkekeh, mana ada presiden juru parkir.

“Sini, Vin. Kita ngopi bentar.”
Aku mengangguk, menyusul masuk.

“Wow, nikmat sekali.” Aku refleks berseru, saat Koh Acan meracik kopi untukku, tiga menit kemudian. Sama refleksnya ketika mencoba kopi buatannya pertama kali.

“Tentu saja nikmat,” Koh Acan terkekeh. “Nah kopi yang kau minum itu dari Bali. Kau tahu, Vin. Di Bali sana, petani menggunakan biji dengan kualitas terbaik. Itu karena kopinya sendiri di tanam di dataran tinggi Bali. Satu jenis tanah yang cocok untuk bertumbuhnya tanaman kopi dengan hasil yang bermutu. Kemudian, proses yang sangat teliti dan ketat pun dilakukan selama tahapan produksi yaitu dengan menggunakan metode giling basah.”

Aku sekali lagi mengangguk.

***

Enam bulan melesat cepat. Warkop Koh Acan semakin ramai. Ruko di sebelah warkop, dibeli Koh Acan untuk menambah fasilitas parkir. Aku tersenyum, itu ide bagus.

Selama bekerja sebagai juru parkir, aku mengelolah parkir Koh Acan dengan cara yang berbeda. Jangan samakan dengan juru parkir yang kalian duga. Kami sungguh berbeda. Misalnya, jika kalian ngopi khusus hari senin, maka ada sepuluh kupon cuci motor dan mobil disediakan gratis. Kebetulan, aku mengusulkan kerjasama dengan pencucian kendaraan di seberang warkop.

Setiap hari, juga ada kejutan berupa hadiah menarik yang tak terduga untuk setiap pelanggan warkop. Pengunjung akan menjumpainya di kendaraan mereka usai belanja. Seperti payung, gantungan kunci, jam tangan, kupon ngopi gratis, dan banyak lagi. Dan yang paling ditunggu-tunggu, setiap pekan, layar besar terpampang di depan warkop. Menayangkan laporan keungan parkir dan penggunan PAD oleh pemerintah. Detail. Juga sambil nonton film terbaru sambil bagi-bagi doorprize. Semua pengunjung, gratis menyeduh kopi apa saja yang mereka suka. Bukan main. Warkop sesak dengan kerumunan. Semua biaya murni dari parkir.

Dua bulan sebelumnya aku merekrut lima staf khusus. Itu usulan Koh Acan.

"Hayya, kau butuh staf, Vin. Orang tua ini nggak tega liat presiden kewalahan. Kau sekarang jadi kepala parkir. Kau urus mereka." Koh Acan memberi tahu. Aku mengangguk. Eh apa Koh bilang tadi? Presiden? Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.

Satu tahun kemudian. Parkiran disebelah warkop selesai direnovasi. Aku kembali merekrut sepuluh staf baru. Sekarang, parkiran Koh Acan macam di mal. Pakai sistem otomatis. Koleksi kopi Koh Acan juga semakin banyak. Bahkan, warkop yang hanya difungsikan sebagai tempat nongkrong, kini menjadi distributor biji kopi papan atas. Semua tersedia dari berbagai daerah dan mancanegara.

Agenda pekanan yang paling ditunggu-tunggu, juga menjadi buah bibir media nasional sejak empat bulan terakhir. Luqman, salah satu staf kepercayaanku yang mengatur semua. Dia pandai mengolah social media. Sejak kami memanfaatkan dunia maya, hampir setiap minggu jadi tranding topic.

Luqman adalah teman kuliahku. Semua tahu kebiasaannya. Baik di kelas, di ruang dosen, di parkiran, di pasar, di mal, dimana saja, ia selalu sibuk dengan smartphone miliknya. Nah daripada dia buat status yang nggak jelas, aku ajak saja dia untuk bergabung. Tapi untuk merekrutnya, butuh perjuangan yang besar. Kalian tahu, saat aku memintanya untuk bekerja, dengan entengnya dia mengatakan, “Siap, Vin. Tapi aku butuh ruangan sendiri, Vin. Yang ber-AC. Ada komputer versi terbaru. Wi-fi full speed. Dan kulkas dua pintu, serta perlengkapan kantor yang lengkap. Kau pikirlah dulu. Kalau nggak ada begitu, ya mohon maaf aku belum bisa bekerja ditempat kau.”

Aku sih, nggak masalah tapi bagaimana dengan koh Acan? Diluar dugaan Koh Acan sepakat. “Asal kerjanya sesuai dengan kriteria yang kita butuhkan.”

Lihatlah, Luqman tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia berhasil membuat warkop Koh Acan semakin dikenal. Bahkan, dalam satu bulan, setidaknya tiga ratus lima puluh pengunjung dari mancanegara.

Disela-sela mengurus parkir Koh Acan, diam-diam aku membuat perkumpulan parkir. Tidak lama setelah terbentuknya komunitas tersebut, semua warkop – juga toko lainnya mulai menerapkan sistem parkir profesional. Bahkan keberadaan parkir liar berkurang drastis.

“Kau tahu, Vin, setidaknya ada dua puluh tujuh yang menelponku setiap hari. Macam diteror,” Ivan, temanku yang  kerja di mal, menjawab ketus, saat aku menelpon, memastikan semua berjalan dengan baik. Tiga detik berikutnya, kami tertawa bersama.

Melalui komunitas parkir tersebut, kami juga mengusahakan ada gedung khusus parkir sepuluh lantai di setiap tempat-tempat yang penuh sesak. Seperti pasar tradisional, pelabuhan, tempat wisata umum, dan lainnya.

Satu tahun berlalu lagi. Semua gedung-gedung parkir sepuluh lantai telah dibangun. Aku mengusulkan tukang bangunan terbaik untuk mengelolahnya. Tidak sia-sia pernah jadi kuli bangunan. Bukan main. Kota ini tidak sesak lagi dengan kendaraan yang asal parkir.

Aku memang hanya sebagai kuli bangunan. Tapi kalian jangan salah, aku sungguh berbeda. Bahkan pernah diminta mewakili kepala mandor untuk bertemu tamu-tamu yang super penting.

"Kau memang anak muda berbakat, Vin. Lulus dengan nilai terbaik. Hayya, bahkan kota ini penuh dengan presiden. Gara-gara kau." Koh Acan tertawa lepas, saat merayakan kelulusanku, di warkop miliknya. Semua karyawan warkop, termasuk stafku, juga hadir. Ikut tertawa. Aku mengerti kalimat Koh Acan barusan. Baju putih. Celana kain. Sepatu pantopel. Rambut disisir rapi.

Dua menit berlalu...

"Hayya, ini apa, Vin?" Koh Acan menerima surat dariku.
Lengang sejenak.

"APA?! KAU SUDAH GILA, HAH?. Apa-apaan ini. Tiba-tiba mau berhenti bekerja? "
Kerumunan menoleh padaku. Menunggu jawaban.

"Dua hari yang lalu, aku menerima email dari salah satu universitas di China. Aku diterima di universitas terbaik." Aku memperbaiki posisi duduk. Berusaha memilih kalimat terbaik. Tidak muluk-muluk.

"Koh Acan tenang saja, aku sudah menyiapkan semuanya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Luqman, yang akan menggantikan posisiku. Luqman juga akan mengurus semuanya."
Wajah Koh Acan berubah menjadi sendu. Kerumunan menatap penasaran.

"Aku harus pergi, Koh Acan. Ada banyak yang harus aku pelajari. Termasuk teknologi parkir paling mutakhir. Koh Acan ingin melihat presiden-presiden yang lebih keren lagi kan?" Intonasi suaraku parau, mencoba bergurau.

"Eh kau belajar bahasa China dari mana pak presiden?" Salah satu dari kerumunan nyeletuk. Warung kopi dipenuhi gelak tawa. Koh Acan ragu-ragu, akhirnya geleng-geleng, ikut tertawa. Hei, dimana aku belajar bahasa China? Tidak ada yang tahu kebiasanku sebelum tidur. Aku selalu menyempatkan untuk menghafal kosa kata Mandarin. Juga belajar menulis aksara. Untuk melatih berbicara, aku diam-diam kursus online.

"Baiklah, Vin. Kau berhak untuk melanjutkan studi disana. Orang tua ini hanya bisa berpesan, jadilah manusia yang bermanfaat. Jangan berhenti berbuat baik. Pegang teguh itu namanya kejujuran dan kesabaran. Jangan kau lupakan Tuhan. Jangan. Tapi libatkan Dia dari segala urusan. Ah ya, kapan kau berangkat? Hayya, biar aku yang siapkan semua. Termasuk tiket dan lainnya. Kau jangan menolak, ini hadiah dariku. Jangan sungkan. Kau tinggal minta, akan aku bantu, selagi orang tua ini bisa bantu." Telak. Aku tidak bisa menolak tawaran itu, meski aku punya tabungan yang cukup. Jangan coba-coba menolak hadiah dari Koh Acan. Akan mengamuk dia macam singa. Bagi Koh Acan, ketika sudah menyebut kata ‘hadiah’, maka hadiah yang diberikan sudah menjadi hak sepenuhnya si penerima. Tidak pedulu reaksi kalian menolak. Dia akan melakukan cara apa saja asalkan itu hadiah sudah ditangan si penerima.

"Xie xie" Terima kasih, aku memeluk tubuh Koh Acan erat-erat. Amboy, aku meneteskan air mata. Teringat Ayahku, yang telah lama tiada. Ya Tuhan, orang tua ini perangainya hampir mirip dengan Ayahku.

Selain mempelajari teknologi parkir paling mutakhir, aku juga punya tujuan yang tak kalah penting. Yaitu berjelajah di Yunnan, sebuah provinsi di China yang kaya akan kopi. Sekitar 98%, biji kopi yang diminum penduduk China berasal dari daerah beribukota KunMing itu.

Kopi yang sudah dikenal ratusan tahun yang lalu, memiliki beragam jenis. Mulai dari Arabica Catimor, Typica, dan Bourbon. Bahkan sampai saat ini, pohon kopi pertama masih tegak berdiri disana.

Sejak aku meminum kopi racikan Koh Acan pertama kali, aku sangat tertarik dengan kopi. Sampai-sampai tugas akhirku juga mengenai kopi.

Ya Tuhan, saksikanlah. Aku sungguh bahagia. Dari anak yang bukan siapa-siapa, kini mempunyai tujuan hidup yang jelas.

***

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

Sumber gambar : google.com