"Ya ampun... Kalau
nyetir tuh pakai mata!" Ibu-ibu pengendara motor berteriak, melotot
dibalik kaca mobilku. Aku menghela nafas, buru-buru minta maaf.
Aku tidak ingin
memperpanjang urusan ini. Aku tidak akan merusak pagiku. Ibu-ibu itu lampu motornya
kearah kiri. Saat aku belok kanan, dia malah ikut ke kanan. Kalian tahu, urusan
ini tidak sesederhana yang kalian bayangkan.
Traffic
light. Tepat saat aku hendak memotong jalan, bola lampu
berubah jadi merah. Baiklah, tidak masalah.
Dibalik kaca mobilku,
seseorang mengetuk-ngetuk.
"Informasi
penting! Headline hari ini membahas
masalah pertikaian politik lokal yang semakin panas. Pembunuhan sadis tadi
malam. Juga rencana kunjungan Presiden dua hari lagi, yang diiringi penolakan
massal dari beberapa kubu." Seseorang itu membuatku diam. Tidak pernah aku
temukan loper koran begini.
Aku melepas kacamata
hitamku. Menatap lamat-lamat anak itu. Tangan kanannya memegang koran. Tangan
kirinya memegang kertas tebal bertuliskan:
Membaca itu penting. Membaca itu jembatan ilmu. Jangan lewati hari dengan sia-sia tanpa membaca. Percayalah, tidak ada yang menyesal karena membaca"
Bukan main. Kreatif
sekali anak ini.
Lima belas detik
berlalu.
"Eh, pak Hosein
kan? Eh, bener kan, pimpinan redaksi koran ini?" Anak itu memberi senyum
terbaik. Macam bertemu artis. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Salah
tingkah. Lihatlah, anak ini mengenalku. Aku mengangguk, membalas senyum.
"Namaku Tepian.
Baru pertama kali tugas di simpang sini. Aku selalu mengikuti tulisan pak Hosein.
Eh, maksudku tulisan bapak keren." Anak itu menatapku antusias. Lupa kalau
sedang jualan.
Aku mengacak-acak
rambut kribonya. Tertawa. "Kau anak baik, Tepian. Hebat. Tapi
ngomong-ngomong kenapa sedikit sekali kau bawa koran hari ini?" Aku
menyelidik. Yang diselidik tersipuh, wajahnya memerah. Malu-malu.
"Sudah tujuh puluh
satu yang terjual. Ada tiga yang menolak. Ada sembilan yang berminat tapi
mereka buru-buru, tidak sempat membeli." Anak itu terkekeh. Astaga, detail
sekali menjelaskan.
"Woy.. jalan woy!!!" Suara samar-samar terdengar dari belakang. Ups...
"Tepian, aku harus
bergegas. Besok, kau temui aku kembali ya. Disini. Ada yang ingin aku
berikan." Aku menawarkan sesuatu, menangkap ide yang baru saja melintas.
Tepian mengangguk. Traffic light selanjutnya
menanti.
Sepanjang perjalan, aku
menghela nafas berkali-kali. Tepian benar. Sepertinya, dia memang sering
membaca tulisanku. Kalian tahu, kutipan yang di kertas tebal di tangan kirinya,
itu adalah kutipan favoritku. Aku sering menggunakannya.
Membaca itu penting. Membaca itu jembatan ilmu. Jangan lewati hari dengan sia-sia tanpa membaca. Percayalah, tidak ada yang menyesal karena membaca"
Esoknya, aku sengaja ke
kantor pagi-pagi buta. Berharap ketemu Tepian lebih lama.
"Selamat pagi,
Tepian. Astaga, kau sangat rapi hari ini" Aku berteriak, terkekeh. Melihat
tampilan Tepian, sudah macam sales top dunia.
Kali ini, tidak ada
yang berani teriak dari belakang mobilku. Traffic
light pagi buta begini bersahat. Hanya ada satu warna, kerlap kerlip lampu orange.
"Eh, selamat
pagi." Tepian menoleh, menjawab ragu-ragu.
"Kemari, nak. Kau
sudah makan?"
Tepian menggeleng.
"Ayo, naik. Temani
orang tua ini sarapan. Kau tidak keberatan kan?" Tanpa disuruh dua kali,
Tepian sudah berlari-lari kecil menuju pintu sebelah kiri.
"Enak kan?"
Aku tersenyum. Mengacak-acak rambut kribonya, satu menit kemudian.
"Rasanya mantap.
Macam makananan mamak." Tepian tidak menoleh. Asyik dengan makanan
dihadapannya. Aku kembali mengacak-acak rambut kribonya. Tertawa.
Rasanya mantap. Macam makanan mamak"
Kata-kata itu pernah
aku pakai saat menulis tentang kuliner saat bertugas di ibu kota. Bukan main.
Koki salah satu kuliner disana tersenyum puas. Memberi hormat. Itu pujian
terbaik untuk koki. Dari sepuluh yang aku kunjungi, semua memberi hadiah
masakan terbaik versi mereka saat hendak pulang.
Lima menit kemudian.
"Tepian, ini ada
hadiah untuk kau, Nak" Aku mengeluarkan 10 buku dari ranselku. Juga coklat
terbaik. Tersenyum.
"Eh, nggak ada
yang baru kah pak? Eh maksudku, ini sih
sudah aku baca semua." Tepian nyeletuk ketus. Ya ampun, apa dia bilang
barusan? Aku menghela nafas, belum ada karangan terbaruku.
"Apa ini,
nak?" Tepian juga mengeluarkan sesuatu dari tas selempangnya, ragu-ragu
meyodorkan.
"Eh ini tulisanku,
pak. Hadiah juga dari Tepian. Ada enam ratus tiga puluh empat halaman lho. Baru
kelar tadi malam."
"Serius?" Aku
menatapnya penuh takzim. Lagi-lagi menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Tepian
mengangguk.
"Tidak ada yang
tahu aktifitasku di panti asuhan, saat semua terlelap. Aku diam-diam menulis.
Ini hobi baruku saat jadi loper koran satu tahun yang lalu." Tepian
menjelaskan, sambil memakan coklat yang kuberikan.
"Eh, jangan dibuka
dulu." Tepian memukul tanganku, wajahnya terlihat cemas. Rambut kribonya
terlihat ikut tegang. Ups, sorry...
"Oh ya, kau disini
mulai jam berapa, nak?" Aku mengganti topik pembicaraan.
"Satu jam yang
lalu, pak"
"Sudah sudah laku
berapa?"
"Baru tujuh belas
yang laku. Dua orang tidak tertarik meski tidak ada yang buru-buru pagi ini"
Tepian menjawab mantap. Aku menghela nafas. Esok, aku harus lebih pagi.
Dua menit berlalu.
Tepian pamit, melanjutkan aktivitas paginya. Aku masih stanby di posisi yang sama. Kerlap kerlip lampu orange belum berubah. Kendaraan hanya
satu dua saja yang lewat. Kali ini, Tepian tidak bisa mencegah rasa
penasaranku.
Kantong plastik hitam
kubuka, lima detik kemudian. Ups, aku
kira tulisan tangan. Sama seperti yang kalian duga. Ternyata ini hasil ketikan.
Bukan main. Sepertinya anak itu jago juga main internet. Apa dia bilang tadi,
Hadiah? Pasti dia punya copy-annya.
Dua detik berikutnya,
kantong plastik itu sempurna kulepas.
ASTAGA!!!
Aku sempurna terdiam,
saat membaca judul tulisan Tepian.
***
"Inilah dia.
Penulis hebat kita saat ini. Penulis yang berhasil menyita perhatian seluruh
Nusantara. Beri tepuk tangan yang meriah untuk Tepian." Pembawa acara, di
salah satu talk show di ibu kota
menghiasi layar kaca. Live. Penonton bersorak, berdiri, memberi penghargaan,
saat yang dipanggil datang. Tepian melambaikan tangan.
Maafkan aku, Tepian. Aku
tidak sempat ikut, hanya bisa menonton dari kejauhan, di kantor. Banyak dedline berita yang harus kuselesaikan.
Dua bulan yang lalu,
aku sengaja mengirim naskah enam ratus tiga puluh empat halaman milik Tepian.
Bukan main, penerbit sampai tidak bisa berkata-kata, satu hari kemudian. Aku
sepakat. Tulisannya sangat baik. Bahkan Tepian tidak mengabaikan pentingnya
Ejaan Yang Dibenarkan (EYD).
"Ini bukan
karangan kau, kan?" Kepala penerbit menyelidik, tidak percaya. Lihatlah,
gaya bahasa yang dipakai Tepian, mirip sekali gaya tulisanku. Aku terkekeh.
Tentu saja bukan.
Tiga hari setelah
naskah kukirim, aku mengajak Tepian untuk tinggal bersamaku. Pemilik panti
asuhan sepakat. Tepian awalnya ragu-ragu, tapi setelah semua penghuni panti memberi
support, akhirnya ikut, sore itu juga.
Aku baru tahu, ternyata
Tepian tidak sekolah. Anak dua belas tahun itu tidap pernah cerita. Aku juga
tidak pernah bertanya. Tapi itu tidak masalah, aku bisa usahakan untuk masuk
sekolah formal agar Tepian bisa mengejar ketinggalan. Biar kedepan bisa
melanjutkan study lebih tinggi.
Istriku menyambut
Tepian dengan penuh rasa senang. Aku juga demikian. Bagaimana tidak, sudah dua
puluh lima tahun pernikahan kami, melewati onak duri bersama-sama, tapi belum
juga diberi keturunan. Ya Tuhan, terima kasih. Saksikanlah. Keluarga kecilku
sekarang sangat bahagia.
***
Aku mengambil remot
teve, mengecilkan suaranya. Acara talk
show tersebut berhenti sejenak. Diganti iklan. Aku melanjutkan pekerjaanku.
Empat puluh menit kemudian,
acara talk show berakhir. Para
penonton berebut meminta tanda tangan. Pembawa acara mengabadikan momen terbaik
lewat smartphone. Tepian malu-malu, salah tingkah. Bahkan Tepian tidak menduga,
buku yang ditulisnya itu laris manis di pasaran. Terjual dua juta copy dalam satu hari. Bukan main.
Satu menit berlalu, aku
mengambil smartphone di saku.
Meletakkan buku karya Tepian di meja kerjaku. Memotret. Aku lagi-lagi
tersenyum. Aku sangat yakin. Dua hari kedepan, buku pertama Tepian berjudul:
"Runtuhnya Jembatan Tenggarong" akan memecahkan rekor dunia. Aku juga
baru tahu, ternyata Tepian adalah salah satu korban atas tragedi 26 November
2011, saat membaca naskahnya pertama kali.
Ebid Salam
Samarinda, 22 Juli 2016