Kehilangan

Usai shalat Jumat, di masjid Al-Qomar, yang tidak jauh dari kantor saya, saya kehilangan sandal. Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada yang mengambil. Sepertinya ada kelalaian dalam menunaikan perintah-Nya. Astagfirullah hal 'adziim...

Marah. Ada kewajaran saya marah. Sebagaimana banyak diantara kita khilaf dengan perbuatan ini. Betapa tidak. Sandal itu adalah salah satu pengganti sepatu saya yang hilang beberapa hari yang lalu. Tapi untuk apa, saya marah? Bukankah sia-sia? Bukankah Rasulullah SAW ketika mendapat musibah selalu sabar, dan malah mendoakan? Astagfirullah hal 'adziim. Semoga Allah memaafkan kita yang senantiasa khilaf.
Sepatu saya yang hilang tempo hari
Dalam sebuah hadist mengatakan, jika kita menahan marah, maka surga untuk kita. Masya Allah, betapa beruntungnya bila kita bisa menahan marah. Astagfirullah hal 'adziim, maafkan saya. Bukan bermaksud saya menggurui. Bukan. Semoga bisa dipahami bersama. Semoga keberkahan menyelimuti kita.

Kehilangan. Memang menjadi hal pemicu banyak khilaf. Mungkin kita tidak sadar, saat kehilangan, kita mengutuk langit. Tidak adillah atau apalah bahasanya. Astagfirullah hal 'adziim. Begitulah yang terjadi saat kita mendefinisikan kehilangan hanya satu sisi. Padahal banyak sisi lain yang bisa kita lihat. 

Ada satu kisah. Semoga kita bisa mengambil ibrohnya. Tenangkan hati. Biarkan ia ikut dalam alunan kisah berikut. Semoga Allah memberkahi.

Sebut saja namanya Dza, penjual gorengan yang sedang naik daun. Lantaran gorengan hasil buatan istrinya laku keras. Ia disukai para pelanggannya. Jujur, murah senyum pula. 

Dza tinggal disebuah desa kecil. Ia tahu, kalau jualan di kota pasti menguntungkan. Dan perhitungan Dza betul. Maka, selama dua bulan terkahir, pagi-pagi buta berangkat jualan menggunakan angkot karena belum punya kendaraan. Karena angkot yang ia tumpangi tidak menjemputnya. Dza harus berjalan melewati persawahan sekitar dua kilo meter.

Suatu ketika, saat masih dipertengahan  sawah, tiba-tiba beliau terpeleset. Ups. Dagangannya berjatuhan. Maka,  semula senyum yang menentramkan, kini jadi mengkerut. Bagaimana mungkin langit setega ini? Lihatlah. Dagangannya kotor dan tidak layak jual. Dua menit berlalu Dza pun pulang membawa gorengannya yang berjatuhan.

Sesampai di rumah, Dza tertatih-tatih. Kalau-kalau istrinya marah, bagaimana? Rupanya istrinya sama sekali tidak marah. Lihatlah, beruntung sekali Dza punya istri yang mengerti. 

"Insya Allah, rezeki kita ndak kemana kok mas. Tetap sabar ya. Tidak baik berprasangka buruk kepada Allah. Pasti ada hikmahnya mas" demikian kata istrinya. Tersenyum. Yang diajak bicara ikut tersenyum, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Mengaku khilaf mengutuk langit.

Sore hari. Salah satu kerabatnya berkunjung ke rumah Dza. Mengabarkan bahwa angkot yang biasa dipakai ke kota  kecelakaan. Maka, Dza beristigfar saat itu juga. Memohon ampun. Allah ternyata punya rencana lebih baik. Cerita selesai? Ternyata belum.

Salah satu peternak itik berkunjung juga ke rumah Dza, setelah kerabatnya itu barusan. Ia membutuhkan makanan tambahan untuk itiknya. Mencari gorengan yang tidak layak makan tetapi masih layak untuk ternaknya. Masya Allah, beruntung sekali Dza. Alhasil, itu gorengan dijual ke peternak itik semuanya. Meski harga sedikit berkurang. 

***

Sahabatku. Betapa nikmatnya ketika kita menyikapi kehilangan dengan sabar dan berprasangka baik kepada Allah. Dza mengajarkan kita betapa baiknya melihat sisi kehilangan (kesempatan jualan gorengan di kota hilang, red) dengan cara-cara positif. Semoga Allah memberi karunia untuk kita. Yang senantiasa berusaha belajar lebih baik.

Kehilangan. Adalah salah satu bahan untuk syaitan mendekatkan kita kepada maksiat. Astagfirullah hal'adziim. Maka, untuk saya pribadi dan juga sahabatku sekalian, semoga kita termasuk orang-orang yang sabar dan senantiasa berprasangka baik kepada Allah SWT.

Ebid Salan
Samarinda, 07 Oktober 2016