Raut wajahnya tampak sedikit lelah, namun ia tak menggubrisnya. Dari Negeri Paman Sam, Pak Irawan Nugroho bercerita tentang pengalamannya
Pria yang hobi travelling ini mengawali karier internasionalnya saat menjadi jurnalis di Jawa Pos, 1990 lalu. Belum genap dua tahun menjadi wartawan, beliau dipercaya untuk meliput konflik Irak-Kuwait saat itu.
Cerita panjang di Amerika Serikat dimulainya pada 1994. Tapi karena ada something beberapa tahun kemudian, pria berusia 52 tahun ini diajak kembali ke tanah air.
***
Mobil kami melaju pelan di kiri jalan. Dibalik kaca, tampak pak Eddy tengah menunggu, sambil berjalan santai ke arah kami. Tiga puluh detik berlalu, kami melesat cepat menuju Kaltim Post, di Mahakam Square.
Kami menghabiskan sisa perjalanan dengan ngalor ngidul. Sesekali mengintip pesona sungai mahakam dan gedung-gedung besar.
Setelah sampai di gedung biru, pak Irawan turun persis di depan pintu utama. Menyisahkan Pak Candrananda yang kebingungan mencari parkir mobil. Semua sesak dengan kendaraan. Kami berputar mengelilingi Mahakam Square. Melewati perusahan-perusahaan besar, hingga lapak kuliner kepiting. Akhirnya mobil parkir tidak jauh dari tempat tujuan utama.
Dua tahun silam, saya sempat bekerja disini. Berkarir sebagai wartawan kemudian beralih profesi menjadi marketing iklan. Selama setengah tahun banyak hal yang saya pelajari. Kembali ke gedung biru ini, setidaknya bisa bernostalgia sejenak.
“Parkir khusus tamu. Lah kenapa kita tidak parkir disini saja ya?” pak Candrananda sedikit kesal, membaca plang di depan pintu utama. Kita kan tamu? Saya dan pak Eddy saling tatap.
Tak ada perubahan sejak saya resign 2014 lalu. Desain dan tata ruang di gedung ini tetap sama. Hanya karyawan saja yang banyak tergantikan. Membuat bingung memulai sapaan.
“Pak, saya tinggal ke atas sebentar ya.” Pak Candrananda mengangguk, segera bergabung dengan Pak Irawan di ruang tamu. Pak Eddy ikut bersama saya, dari tadi beliau hendak buang air kecil.
***
Warung kopi ini seketika lengang. Saya dan pak Candrananda terdiam. Mengabaikan bising lalu lalang di depan. Mengangguk takzim. Menunggu kelanjutan cerita.
Pak Irawan ternyata menolak kembali ke Indonesia. Ia punya tekat bahwa kariernya akan berkembang di Negeri Paman Sam. Meski ia sadar tidak mudah tinggal di Negara Asing. Pasti banyak onak duri menunggu. Tapi bukankah kita pernah belajar, siapa yang bekerja keras akan menuai hasilnya?
Pak Irawan membuktikan kerja kerasnya. Beberapa tahun kemudian ia diterima bekerja sebagai interpreter di Kementrian Luar Negeri AS, hingga sekarang. Kebetulan, saat itu sedang dibutuhkan penerjemah bahasa Indonesia. Sebagai interpreter, tugas Pak Irawan yakni mendampingi delegasi Indonesia yang diundang ke Amerika oleh Pemerintah AS.
"Ayo Bid, cari pengalaman di luar!" Pak Candrananda memberi saran. Saya tersipu, menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
Disela-sela obrolan, Pak Irawan teringat sesuatu. Pak Candrananda segera menghubungi pak Eddy, bilang sebentar lagi kami jemput.
Hari itu, hari Selasa. Sekitar pukul 11:15 Wita, kami sepakat berangkat segera. Memakai mobil milik pak Candrananda. Dari Jl Flores menuju Jl AW Syahranie perjalanan lancar, tidak terlalu macet.
Sebelum melanjutkan perjalanan, kami bertemu dengan Pak Johansyah Balham, teman seperjuangan Pak Dahlan Iskan |
***
Usai shalat dzuhur, saya bertemu mas Kamto, sohib marketing di Samarinda Pos (Sapos). Kami bercakap-cakap apa saja. Beberapa menit kemudian, saya diajak ke ruang kerjanya. Disana saya bertemu dengan bu Linda, manajer iklan Sapos. Namun, saya tak menduga ada sedikit usaha “menarik” saya untuk kembali bekerja di Kaltim Post Group. Khususnya di Sapos.
Bu Linda dengan semangat bercerita tentang potensi besar menjadi marketing. Sambil mencontohkan salah satu marketingnya yang sukses. Apakah ia tak ingat kami pernah liputan bersama? Seketika dalam hati bergumam. Bu Linda kemudian hendak mengajak saya ngobrol face to face. Menindaklanjuti tawarannya.
What happen? Bukankah saya hanya diajak ke ruang kerja? Bukankah disini saya hanya sebagai tamu? Buru-buru saya bilang terima kasih, senang bisa bertemu. Akan saya pikirkan nanti ya. Saya harus ke depan menemani rombongan.
Buku-buku tersusun rapi di lemari kaca. Di dalamnya tampak beberapa penghargaan dari berbagai sumber. Ada juga merchandise. Di samping lemari, tulisan besar Kaltim Post menghiasi ruang tamu.
Di ruang tamu. Rombongan telah terlibat pembicaraan serius. Disana ada pak Rusdiansyah Aras. Direktur Kaltim Post yang sangat energik menyemangati marketing amatiran mencari iklan. Kami bersalaman sebentar. Kemudian rombongan melanjutkan pembicaraan.
“Dalam waktu enam tahun, APBD Kaltim sudah habis sebesar 75,04 Triliun. Di tambah tahun 2009 dan 2010. Kemana duitnya ya, jejaknya cuman sedikit yang terlihat!.” Pak Candrananda ikut berdiskusi. Kebetulan rombongan sedang membahas polemik yang terjadi di benua etam.
Pak Rusdiansyah dan Pak Irawan bercakap-cakap |
“Kalau 1,5 Triliun saja dibuat pembangkit listrik dari dulu kita bakalan punya 2x35_MW. Artinya, seratus tahun kedepan seluruh Kaltim tidak bakal kekurangan listrik. Apa duit sebesar itu hanya buat belanja pegawai?.” Pak Candrananda merapikan posisi dukuknya. Rombongan tampak tegang, kecuali pak Eddy yang terlihat asyik otak-atik ponsel, entah apa yang dikerjakannya.
Pak Eddy sibuk dengan ponselnya |
Dibalik pintu utama, terlihat rombongan yang amat ku kenal. Mereka senior saya di desk Iklan. Ada Pak Hasyir, Pak Denny, dan Pak Ari. Ruangannya persis di belakang ruang tamu. Kami bersalaman, memberi senyum terbaik. Sepuluh detik berlalu, pembicaraan serius berlanjut.
***
“Oke Google” saya mengarahkan suara ke ponsel milik Pak Eddy, “Cuaca hari ini”. Kami tertawa didalam mobil. Ternyata ponsel pintar ini merespon cepat. Perkiraan cuaca secara fasih dan detail terdengar.
"Coba cari tahu sumedang," Pak Candrananda berbisik. Lagi-lagi informasi tahu sumedang terdengar takzim. Pak Eddy disebelah saya mangguk-mangguk. Pak Irawan hanya tersenyum menyaksikan keseruan kami. Berikut adalah daftar untuk tahu sumedang dekat sini...
Di luar sana, jajanan buka puasa mulai ramai menghiasi pinggir jalan. Tampak mereka begitu bersemangat, padahal waktu berbuka masih lama. Ini baru pukul 14:00 Wita.
Kami juga mencoba fitur maps di ponsel pak Eddy. Cukup mengaktifkan Global Positioning System (GPS), maka secara langsung menampilkan posisi kami di layar ponsel, yang terlihat mengikuti gerak mobil yang kami kendarai. Jalan-jalannya terlihat jelas. Juga tempat-tempat penting tertera di dalam aplikasi itu. Kami kembali tertawa.
Otak-atik ponsel pak Eddy setidaknya bisa membuat pikiran kami kembali fresh. Karena beberapa menit yang lalu, pembicaraan serius di gedung biru bikin berakhir tanpa kesimpulan. Menyisihkan pertanyaan besar: "Kapan benua etam bisa lebih baik?!"
Ebid Salam
Samarinda, 17 Juni 2016