Jo Berbicara Bisnis

Aku sedikit bingung. Tumben sekali mas Ebid mengajakku nongkrong di cafe. Biasanya juga di warung-warung sederhana.
Awalnya sih aku curiga, pasti mas Ebid ada maunya. Benar saja. Aku disuruh menulis cerita tentang bisnis yang aku geluti selama ini. Dan jika kalian membaca tulisanku sekarang, itu berarti mas Ebid berhasil membujukku.
***
Perkenalkan. Namaku Joko. Aku kelahiran Sulawesi Selatan. Jika kalian berharap tulisanku ini ada kisah romatisnya, maka tolong maafkan aku. Hanya akan kuceritakan sedikit. Satu karena mas Ebid hanya memintaku menulis cerita tentang bisnis. Kedua karena kisah percintaanku tidak sekeren Romeo dan Romeni.
Aku masih ingat, ketika belajar cinta-cintaan. Saat itu, aku sedang duduk di tepi sungai mahakam. Tiba-tiba saja Dalle, teman kampusku datang bersama temannya lagi yang menurutku cantik.
“Hai juga, namamu siapa?” gadis cantik itu membalas sapaanku.
“Jo”
“Jonhatan?”
“Bukan”
“Joshua?”
“Bukan”
“Jonru?”
Aku kembali menggeleng.
“Siapa dong?”
“Jodohmu”
Kami bersitatap lima belas detik lamanya tanpa kedip.
“Apaan sih, kamu natap dia segitunya. Dia ini calon istriku,” Dalle sedikit marah padaku, “Jo, Jo, Jones (Jomblo Ngenes) iya. Dasar jomblo!”
Aku tetap tersenyum mendengar kalimat itu. Tapi sebenarnya hanya menjaga perasaan. Mudah-mudahan kalian mengerti maksudku.
Dari situ, aku berusaha tidak ingin mencari pasangan. Hingga akhirnya Allah memberiku jodoh terbaik. Meski sempat kaget waktu kenalan karena dianya tukang merakit bom.
Alhamdulillah, saat ini kami dikaruniai dua putra yang lucu-lucu.

By the way, mungkin kalian bingung, kok orang Bugis namanya Joko. Begini. Waktu itu, aku dilahirkan oleh bidan yang kebetulan orang jawa. Mamak dan bapak sama sekali tidak punya ide untuk namaku. Akhirnya, itu bidan mengusulkan nama Joko.
***
Saat ini, aku punya bisnis pemotongan ayam professional yang ada di Samarinda. Jika dibayangan kalian tempat pemotongan ayam itu kumuh, maka kami tidak seperti itu. Kebersihan menjadi prioritas kami. Bahkan, kami sudah mengantongi izin dari MUI Internasional.
Aku ceritakan dengan singkat tentang perjuanganku. Mudah-mudahan kalian bisa mengambil pelajaran.
Dalam setiap bisnis, tidak ada istilah tumbuh secara cepat. Ada proses di dalamnya. Sebelum aku memulai ini bisnis, dari kecil aku suka beternak ayam. Bahkan, semua ayam yang aku pelihara, ada namanya.
Ketika aku lulus sekolah menengah atas, tahun 2010 aku merantau ke Samarinda. Semua ayam yang aku miliki kujual. Untuk modal perjalanan, juga modal untuk kuliah. Mamak dan bapakku setuju-setuju saja.
Aku mengambil jurusan Peternakan di Universitas Mulawarman. Tapi ternyata aku tidak diterima di jurusan Peternakan. Malah di jurusan Ilmu Sosial dan Politik.
Aku tahu itu pilihan yang sulit. Tapi aku yakin, Allah menghendaki aku disini. Maka, aku terus berjuang. Tanpa melupakan misi awal, yaitu ingin menjadi pengusaha yang berkaitan dengan ayam.
Untuk menghidupi kebutuhanku di tanah perantauan, aku kerja sebagai buruh bangunan. Aku tidak perduli apa kata oran lain. Yang penting bisa survive.
Kerja sebagai buruh bangunan mengasyikkan. Teman-teman seperjuanganku juga menyenangkan. Tapi aku banyak kehilangan mereka ketika ada tragedi runtuhnya proyek pembangunan tiga lantai di Komplek Perumahan Cendrawasi Permai pada 3 Juni 2014 yang baru kami tangani kira-kira setahun.
Sumber : Liputan6.com

Sejak saat itu, banyak yang memilih pulang kampung. Sementara aku dan lainnya tetap bertahan di Samarinda meski harus risain dari kerjaan.
Sebagian tabungan yang aku miliki, aku akhirnya mencoba membuka usaha kecil-kecilan waktu itu. Yaitu menjual ayam yang sudah kupotong bersih secara dor to dor.
Dor to dor aku lakukan selama setahun dengan mendorong gerobak berpuluh-puluh kilometer. Mingu-minggu awal memang betul-betul rugi. Karena banyak ayam yang nggak laku sehingga itu ayam tidak layak jual. Tapi Alhamdulillah, dua tahun terakhir akhirnya kami membuka pemotongan ayam professional.
Kuliah di Ilmu Sosial dan Politik ternyata tidak sia-sia. Disini aku belajar banyak tentang ilmu komunikasi. Sehingga memudahkan aku untuk menjual. Inilah yang perlu kita pahami, bahwa setiap keputusan pasti ada hikmahnya.
Jadi, jangan pernah merasa salah pilih. Jalani saja dengan sepenuh hati sambil meminta yang terbaik kepada Allah.
***
Aku berterima kasih, sudah membaca tulisanku ini sampai habis. Maafkan aku, bila terlalu singkat. Ini juga karena mas Ebid request dalam bentuk cerita pendek. Tapi jika kalian menginginkan kisahku lebih panjang lagi, silahkan hubungi mas Ebid ya, hehe siapa tahu mau dibuatkan novel. Salam sukses...

Ebid Salam
Samarinda, 21 Januari 2017