Diskusi Sastra di Lembah Penantian Kekasih

Menghadiri agenda Jaringan Penulis Kaltim (JPK) memang selalu menyenangkan. Pertama kali nimbrung, ada hidangan nasi padang. Kedua kalinya, ada makanan spesial yang disediakan oleh mak Rachma yang kebetulan diagendakan disana. Macam bubur jagung, gorengan, pisang rebus, dan kerupuk. Memang terlihat biasa, tapi ditangan mak Rachma, hidangan itu sungguh berbeda.

“Kamu siapa? Salah alamat nih,” Itu kalimat pertama Mak Dyan, ketika menyambut saya di rumah mak Rachma. 
“Kesini dong”
“Disebelah. Salah alamat kamu”

Hari itu saya cukup lelah. Tidak berniat berantem sama emak-emak. Bayangkan saja. Untuk ke rumah mak Rachma di Lembah Penantian Kekasih (Lempake), harus menempuh jalan macam medan pertandingan motorcross. Selain itu, kalian juga harus berkutat sama peta. Karena sekali tidak fokus, maka akan mudah tersesat. Seperti rombongan mas Panji yang datang kemudian. Mereka tersesat sampai ke Bendungan Benanga. 

Di rumah mak Rachma, seperti biasa kami membahas apa saja yang berkaitan dengan sastra. Kecuali mak Dyan, yang selalu saja sensi dengan saya dan para barisan bujang lainnya.

Kali ini, puisi mas Ari (salah satu barisan bujang) yang jadi pembahsan. Juga karya saya yang spesial dibacakan bu dosen. Untunglah bukan mak Dyan yang baca. Bahaya.

Disela-sela diskusi kami setelah pembacaan hasil karya, pak Sunarto, pak Agus dan istrinya baru saja datang. Maklum, mereka habis kondangan. Beberapa menit setelah kedatangan mereka, hujan pun ikut menyusul. Maka, yang memakai sepatu pada berlarian kedepan. Takut kalau-kalau sepatu mereka basah. Sementara saya dan barisan bujang lainnya menikmati hidangan yang ada karena kami memakai sandal.

Setelah diskusi sastra, rombongan JPK menuju bukit teletabis untuk berfoto bersama. Dan kemudian melanjutkan perjalanan menuju bendungan benanga. 
Foto bersama di rumah mak Rachma
Bukit Teletabis
Mas Panji, itu pasangannya kakinya mana? 
Rombongan mas Panji tidak ikut ke bendungan. Mungkin mereka ada agenda lain. Atau bisa jadi tidak berniat kesana karena sebelum sampai ke rumah mak Rachma, mereka tersesat duluan di bendungan benanga, hehe.

Di bendungan benanga, kami abadikan momen terbaik. Maklum, tempat ini cukup jauh dari pusat kota. Selain itu, tempatnya juga asyik. Ada danau terbentang luas diseberang bendungan. Andai saja saya tahu akan kesini, mungkin saja saya bawa peralatan berenang dan pancing. Jadi, kalau tidak dapat ikan, tinggal nyemplung. 
Bendungan Benanga
Dalam sesi foto, mak Dyan jagoannya. Maka, dari perjalanan menuju bukit teletabis hingga ke bendungan, mak Dyan yang sibuk jepret-jepret. Untung saja dianya tidak pemilihan saat sedang memainkan lensa. Sehingga saya dan para barisan bujang lainnya dapat jatah foto.
Salam Literasi 
Akhirnya mak Dyan (kiri) mau juga foto sama barisan bujang
Danau terbentang luas
Air mengadir deras di bendungan benanga
Disela-sela mengabadikan momen terbaik, ada dua insan yang tampak sibuk. Lihatlah, mereka begitu mesra. Macam dunia ini milik mereka saja. 
Sibuk berdua
Tentu saja saya tidak mau kalah. Maka, saya pun mencoba untuk menyibukkan diri. Foto sana foto sini. Dan ternyata, kedua insan itu memasukkan saya dalam lensanya dengan model begini.
Keren ya (yang dibelakang)
Kecapean
Mohon jangan berpikir aneh-aneh tentang foto saya diatas. Itu bukan model cemburu. Tapi model kecapean. Percayalah. Percaya aja deh.

Well, perjalanan ke rumah bu Rachma, ke bukit teletabis, dan ke bendungan benaga sunggu sangat berkesan. Hanya satu yang kurang rasanya. Yaitu hidangan dari mak Rachma tidak sempat saya bungkus. Kan lumayan.

Ebid Salam
Samarinda, 23 Januari 2017