Berputar-putar di Pulau Kumala


 Selasa, 14 Juni 2016

Mengelilingi pulau kumala dengan ketinting memberi kesan menarik bagi kami. Pertama, Pak Eddy terakhir naik ketinting 25 tahun silam. Kedua, Pak Candrananda Hosein, 30 tahun tidak bermain di perahu ini. Kemudian ada yang dari Amerika Serikat, pak Irawan Nugroho, yang sepertinya baru pertama kali merasakan atmosfer diatas sungai Mahakam.

Saya sudah terbiasa dengan perahu ini. Beberapa tahun yang lalu di Tenggarong Seberang, keluarga kami yang pengusaha ikan dalam keramba, rutin mengambil ikan pakai ketinting setiap ada tetangga yang panen. Lalu diantar ke Pasar Segiri Samarinda subuh-subuh. Disini, kami menyebutnya perahu ces.
Saya, Pak Candrananda, dan Pak Eddy berpose sejenak di perahu ketinting
Kami tak menduga, kalau perjalanan diatas mahakam ini memakan waktu setengah jam. Padahal kalau dipikir-pikir, pulau kumala tidak juga terlalu luas. Tapi, keasyikan rombongan tak memperdulikan waktu. Apalagi pak Irawan yang sibuk foto-foto, sepertinya mau dimasukkan dalam Washington Post! Hehe

Dalam perjalanan, kami melihat infrastruktur pulau kumala lebih jelas. Tampak tidak begitu terawat setelah ditinggal investor (PT Eljohn). Sampai-sampai tempat duduk untuk nyantai saja sudah roboh dan bahkan mau jatuh ke sungai. Belum lagi kondisi di dalamnya yang kurang asyik. WC umum apalagi, aduhai.
Kondisi WC di dalam pulau Kumala
Sebelum masuk WC disini, kita akan menjumpai kotak yang cukup besar. Jangan sampai tidak bayar, karena uang tersebut akan dipakai untuk menjaga kebersihan. Tapi, intiplah sebentar, maka hanya ada koin-koin didalamnya. Gimana mau bayar kalau WC ini saja tidak bersih dan terawat?
Kondisi kotak kebersihan pun tidak terawat
Kami sempat berbincang-bincang mengenai wahana di pulau ini. Menyinggung hiburan yang tersedia. Karena hiburan yang ada masih terbilang konvensional. Tidak ada yang terlalu menarik. Mengapa tidak menanam pohon ulin saja misalnya yang keberadaannya sudah mulai mengikis? Atau ciri khas lain yang bisa dijadikan destinasi wisata pembelajaran.

Kapal batu bara berlalu lalang. Pak Irawan masih mengabadikan foto. Kami hanya menyaksikan keseruannya. Kembali bercakap-cakap tentang infrastruktur pulau ini.
Pak Irawan Nugroho berpose membelakangi jembatan Tenggarong
Untuk memasuki pulau kumala, kita tidak perlu naik ketinting. Atau dulu-dulu kita rela antri di kereta gantung. Kali ini kita cukup berjalan kaki melalui jembatan Repo-repo yang baru di resmikan 22 Maret lalu.
Jembatan Repo-repo memiliki panjang 230 meter, lebar 3,5 meter, dan tinggi dari permukaan air pasang sekitar 8 meter. 
Pak Candrananda Hosein memberi petunjuk
Tidak perlu khawatir mengenai biaya masuk. Karena untuk kategori dewasa tarif masuknya hanya Rp 7000. Anak-anak Rp 5000. Belum termasuk parkir, dan penyewaan payung. Masih cukup terjangkau.

Jembatan repo-repo bisa juga disebut sebagai jembatan cinta. Karena Pemerintah setempat sedikit meniru konsep milik jembatan penyebrangan sungai seine di Paris. Tujuannya tidak lain untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) di sektor parawisata. 

Untuk menggunakan ritual ini caranya tidak jauh berbeda dengan yang di Paris. Yakni, kedua pasangan cukup memasang gembok di pagar jembatan bertulis nama mereka atau sekedar inisial. Lalu kunci dibuang ke sungai dan dibiarkan larut. Konon, cinta akan langgeng kalau melakukannya.
Pak Irawan Nugroho mengabadikan momen gembok cinta
Tapi jangan lupa, ritual seperti ini justru bisa menjadi kontroversi. Pertama, keberadaan gembok cinta tersebut berpotensi menggiring generasi muda kea arah negative. Mengikuti trend dunia barat, mengabaikan ciri khas nusantara. Gembok cinta di Malang bahkan dapat kecaman dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Kedua, kalau dilihat dari segi infrastruktur ternyata juga cukup membahayakan. Karena semakin banyak gembok bisa mengakibatkan beban jembatan berpotensi untuk ambruk. Jembatan cinta di Paris bahkan sudah dibongkar habis karena pernah merusak salah satu jembatan. Tersisah hanya beberapa saja sekarang– karena punya sejarah yang menarik. Bayangkan saja, salah satu jembatan disana beratnya bisa mencapai 5 Ton. Woww

Dalam perjalanan jembatan repo-repo, kami menemukan masih banyak space kosong di pagar jembatan. Tapi siapa yang tahu lima atau sepuluh tahun ke depan? Jangan juga lupakan dengan kunci yang dibuang. Dalam jangka panjang, kunci itu bisa berubah menjadi limbah.
Ponton batu bara
Pak Irawan masih tenggelam dalam keseruannya. Di ujung sana terlihat jembatan penghubung. Jembatan yang pernah ambruk 22 November 2011 silam. Kemudian beroperasi kembali 8 Desember 2015. Disebelah saya, pak Eddy bertanya: Bagaimana kalau jembatan itu di tambrak ponton? Buru-buru kami mengganti topik pembicaraan. Tapi sebenarnya cukup masuk akal juga kalau-kalau kapal dan ponton berpisah. Sehingga ponton larut tak terkendali.

Ponton tak terkendali pernah menjadi mimpi buruk keluarga kami. Puluhan karamba dan isinya ludes dalam beberapa menit. Rumah kecil berisi buku-buku, pakaian, dan perabotan lainnya hancur. Saya bahkan hampir menjadi korban. Karena pada saat kejadian, saya asyik utak-atik ponsel di rumah kecil. Mengabaikan panggilan dari luar. Ada apa? Itu panggilan darurat. Saya segera melarikan diri. Mengabaikan isi rumah kecil. Namun, saat ditengah perjalanan saya kembali. Mengambil ponsel yang tertinggal. Satu detik saya melesat cepat. Sampai dipermukaan, dentuman keras terdengar. Disaksikan masyakarat sekitar dengan wajah yang susah ditebak.

Sekitar pukul 15:20 Wita, kami sudah berhasil mengelilingi pulau ini. Kami meminta diantar saja ke pintu masuk jembatan. Badan cukup lelah, apalagi harus melewati jembatan Repo-Repo kembali. 

Ebid  Salam
Samarinda, 16 Juni 2016