Mengelilingi pulau kumala dengan ketinting memberi kesan menarik bagi kami. Pertama, Pak Eddy terakhir naik ketinting 25 tahun silam. Kedua, Pak Candrananda Hosein, 30 tahun tidak bermain di perahu ini. Kemudian ada yang dari Amerika Serikat, pak Irawan Nugroho, yang sepertinya baru pertama kali merasakan atmosfer diatas sungai Mahakam.
Saya sudah terbiasa dengan perahu ini. Beberapa tahun yang lalu di Tenggarong Seberang, keluarga kami yang pengusaha ikan dalam keramba, rutin mengambil ikan pakai ketinting setiap ada tetangga yang panen. Lalu diantar ke Pasar Segiri Samarinda subuh-subuh. Disini, kami menyebutnya perahu ces.
Saya, Pak Candrananda, dan Pak Eddy berpose sejenak di perahu ketinting |
Dalam perjalanan, kami melihat infrastruktur pulau kumala lebih jelas. Tampak tidak begitu terawat setelah ditinggal investor (PT Eljohn). Sampai-sampai tempat duduk untuk nyantai saja sudah roboh dan bahkan mau jatuh ke sungai. Belum lagi kondisi di dalamnya yang kurang asyik. WC umum apalagi, aduhai.
Kondisi WC di dalam pulau Kumala |
Kondisi kotak kebersihan pun tidak terawat |
Kapal batu bara berlalu lalang. Pak Irawan masih mengabadikan foto. Kami hanya menyaksikan keseruannya. Kembali bercakap-cakap tentang infrastruktur pulau ini.
Pak Irawan Nugroho berpose membelakangi jembatan Tenggarong |
Jembatan Repo-repo memiliki panjang 230 meter, lebar 3,5 meter, dan tinggi dari permukaan air pasang sekitar 8 meter.
Pak Candrananda Hosein memberi petunjuk |
Jembatan repo-repo bisa juga disebut sebagai jembatan cinta. Karena Pemerintah setempat sedikit meniru konsep milik jembatan penyebrangan sungai seine di Paris. Tujuannya tidak lain untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) di sektor parawisata.
Untuk menggunakan ritual ini caranya tidak jauh berbeda dengan yang di Paris. Yakni, kedua pasangan cukup memasang gembok di pagar jembatan bertulis nama mereka atau sekedar inisial. Lalu kunci dibuang ke sungai dan dibiarkan larut. Konon, cinta akan langgeng kalau melakukannya.
Pak Irawan Nugroho mengabadikan momen gembok cinta |
Kedua, kalau dilihat dari segi infrastruktur ternyata juga cukup membahayakan. Karena semakin banyak gembok bisa mengakibatkan beban jembatan berpotensi untuk ambruk. Jembatan cinta di Paris bahkan sudah dibongkar habis karena pernah merusak salah satu jembatan. Tersisah hanya beberapa saja sekarang– karena punya sejarah yang menarik. Bayangkan saja, salah satu jembatan disana beratnya bisa mencapai 5 Ton. Woww
Dalam perjalanan jembatan repo-repo, kami menemukan masih banyak space kosong di pagar jembatan. Tapi siapa yang tahu lima atau sepuluh tahun ke depan? Jangan juga lupakan dengan kunci yang dibuang. Dalam jangka panjang, kunci itu bisa berubah menjadi limbah.
Ponton batu bara |
Ponton tak terkendali pernah menjadi mimpi buruk keluarga kami. Puluhan karamba dan isinya ludes dalam beberapa menit. Rumah kecil berisi buku-buku, pakaian, dan perabotan lainnya hancur. Saya bahkan hampir menjadi korban. Karena pada saat kejadian, saya asyik utak-atik ponsel di rumah kecil. Mengabaikan panggilan dari luar. Ada apa? Itu panggilan darurat. Saya segera melarikan diri. Mengabaikan isi rumah kecil. Namun, saat ditengah perjalanan saya kembali. Mengambil ponsel yang tertinggal. Satu detik saya melesat cepat. Sampai dipermukaan, dentuman keras terdengar. Disaksikan masyakarat sekitar dengan wajah yang susah ditebak.
Sekitar pukul 15:20 Wita, kami sudah berhasil mengelilingi pulau ini. Kami meminta diantar saja ke pintu masuk jembatan. Badan cukup lelah, apalagi harus melewati jembatan Repo-Repo kembali.
Ebid Salam
Samarinda, 16 Juni 2016